Dalam kegiatan bisnis valas tersebut, tidak sedikit masyarakat muslim yang terlibat di dalamnya, baik sebagai nasabah maupun sebagai pengusaha atau karyawan perdagangan valas. Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan kajian khusus mengenai hukum bisnis valas tersebut dalam perspektif ekonomi dan hukum Islam (muamalat), agar umat Islam mendapatkan jawaban hukum yang jelas dan tegas.
Pengertian
Valas adalah singkatan dari valuta asing. Yang dimaksud dengan valuta asing ialah mata uang luar negeri, seperti dollar Amerika, poundsterling Inggris, ringgit Malaysia dan sebagainya.
Apabila antara negara terjadi perdagangan international, maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri, yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya, importir Indonesia memerlukan devisa untuk mengimpor barang dari luar negeri. Untuk membayar barang-barang impor tersebut, si importir membutuhkan mata uang asing.
Demikian juga misalnya, bila sebuah perusahaan di Indonesia mengekspor barang, misalnya ke Jepang, maka pertukaran mata uang asing diperlukan. Pembayaran oleh Jepang untuk perusahaan Indonesia harus dengan mata uang lokal, rupiah. Sementara importir Jepang hanya memiliki mata uang yen.
Dalam hal ini ada dua kemungkinan yang dapat ditempuh, guna memenuhi kebutuhan transaksi antara eksportir Indonesia dan importir Jepang tersebut.
Pertama, bila eksportir Indonesia menagih dalam bentuk rupiah, maka importir Jepang harus menjual yen dan membeli rupiah untuk membayar barang yang diimpor dari Indonesia. Kedua, bila eksportir Indonesia dibayar dengan mata uang yen, maka eksportir Indonesialah yang harus menukar yen itu kepada rupiah.
Dengan demikian, akan timbul penawaran dan permintaan devisa di bursa valuta asing. Dapat juga terjadi bahwa transaksi antara dua negara diselesaikan dengan menggunakan mata uang negara ketiga, misalnya dollar.
Hal ini bisa terjadi bila eksportir maupun importir tidak memiliki mata uang lokal negara masing-masing atau mata uang kedua negara itu sangat jarang diperdagangkan karena mata uangnya sangat lemah. Ini berarti mata uang yang dipergunakan itu adalah mata uang yang populer di kedua negara itu, misalnya dollar.
Kurs mata uang tersebut bisa berubah-ubah, tergantung pada situasi ekonomi negara masing-masing. Islam mengakui perubahan nilai mata uang asing dari waktu ke waktu secara sunnatullah (mekanisme pasar). Bila perubahan itu terlalu tinggi, maka campur tangan pemerintah diperlukan untuk menjaga stabilitas mata uang, karena Islam menginginkan terciptanya stabilitas kurs mata uang.
Transaksi jua beli valuta asing sebagaimana yang digambarkan di atas, umumnya diselenggarakan di pasar valuta asing, money changer, bank devisa dan perusahaan bisnis valas.
Perspektif Ekonomi Islam
Dalam ekonomi Islam, jual beli mata uang disebut dengan istilah ash-sharf. Pada asalnya, mata uang itu hanya emas dan perak. Uang emas disebut dinar dan uang perak disebut dirham. Kedua mata uang tersebut dinamakan mata uang intrinsik, yaitu mata uang yang sesuai dengan nilai nominalnya dengan nilai kandungan bahannya.
Zaman sekarang mata uang juga berbentuk nikel, tembaga dan kertas yang diberi nilai tertentu. Mata uang selain dinar dan dirham itu disebut uang nominal yakni angka yang tertulis pada uang nominal tidak sesuai dengan harga material (intrinsik) uang tersebut.
Tukar menukar mata uang boleh terjadi antara lain : 1. Jenis logam yang sama, seperti emas dengan emas, perak dengan perak, 2. Jenis logam yang berlainan, emas dengan perak, emas dengan nikel, 3. Logam dengan uang kertas, misalnya emas dengan kertas, 4. Uang kertas dengan uang kertas, misalnya selembar Rp. 10.000,- dengan 10 lembar uang ribuan.
Pada dasarnya, tukar menukar mata uang atau jual beli mata uang hukumnya jaiz (boleh) dengan syarat sebagai berikut : 1. Apabila uang yang ditukar itu emas, maka harus memenuhi syarat; Pertama, sama beratnya atau sama timbangan. Kedua, penyerahan barangnya dilakukan pada waktu yang sama (naqdan/spot), demi untuk menghindar riba.
2. Apabila mata uang yang ditukar itu emas dengan perak, atau kedua mata uang itu berbada jenisnya, maka dapat ditukarkan sesuai dengan market rate dan penyerahan barangnya harus dilakukan pada waktu yang sama.
Norma-Norma Syariah
Aktivitas perdagangan valuta asing, harus sesuai dengan norma-norma syariah, antara lain harus terbebas dari unsur riba, maisir, gharar. Karena itu perdagangan valas harus memperhatikan batasan sebagai berikut ;
1. Pertukaran tersebut harus dilakukan secara tunai (spot), artinya masing-masing pihak harus menerima/menyerahkan masing-masing mata uang pada saat yang bersamaan. 2. Motif pertukaran adalah untuk kegiatan bisnis sektor riil, yaitu transaksi barang dan jasa, bukan dalam rangka spekulasi. 3. Harus dihindari jual beli bersyarat. Misalnya, si A setuju membelinya kembali pada tanggal tertentu di masa mendatang. 4. Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak uang diyakini mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan. 5. Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau dengan kata lain, tidak dibenarkan jual beli tanpa hak kepemilikan (ba’i al-fudhuli).
Dengan memperhatikan beberapa batasan tersebut, terdapat beberapa tingkah laku perdagangan valas yang harus diperhatikan : 1. Ekonomi syariah menghindari dan melarang perdagangan tanpa penyerahan (future non delivery trading atau margin trading). 2. Ekonomi syariah melarang tegas jual beli valas untuk kepentingan spekulasi. 3. Harus dihindari jual beli valas, baik dalam bentuk spot maupun forward. 4. Ekonomi syariah juga melarang transaksi swap. Berjanji untuk menukar mata uang asing dengan mata uang setempat pada waktu tertentu dan dengan harga yang ditetapkan, hukumnya jaiz.
Larangan Spekulasi Valas
Sekali lagi ditegaskan bahwa pertukaran mata uang atau jual beli valas untu kebutuhan sektor riil, baik transaksi barang maupun jasa, hukumnya boleh (jaiz) menurut hukum Islam. Namun, bila motifnya untuk spekulasi, sebagaimana yang banyak terjadi saat ini, maka hukumnya haram.
Argumentasi dan dasar pemikiran larangan perdagangan spekulasi valas untuk spekulasi, dirumuskan dalam bentuk poin di bawah ini :
I. Pendapat Mahathir Muhammad, PM Malaysia, Mahathir Muhammad dikenal luas sebagai orang yang mengecam keras praktik perdagangan valas (Margin trading valas). Larangan keras ini didasarkan pada sejumlah alasan :
1. Berdagang valuta asing ini tidak ubahnya seperti judi, karena dalam transaksinya penuh dengan spekulasi. 2. Konstribusi margin trading sangat signifikan terhadap melemahnya rupiah atas dollar AS. Sedangkan melemahnya rupiah atas dollar merupakan bencana bagi ekonomi Indonesia. 3. Praktik margin trading biasanya tidak mengindahkan fair bussines. 4. Karena tidak ada proses transaksi riel, para pelaku hanya mengandalkan selisih dari harga valuta pada saat penutupan.
II. Uang bukan komuditas. Dalam ekonomi Islam, uang tidak boleh dijadikan sebagai komoditas, namun dalam perdagangan valuta, yang secara jelas, telah dijadikan sebagai komoditas.
Menurut Taqiyuddin An-Nabhani dalam buku An-Nizham al –Iqtishadi al-Islami, mengatakan bahwa uang adalah standar nilai pada barang dan jasa (199-297). Demikian pula Thahir Abdul Muhsin Sulaiman dalam buku ‘ Ilajul Musykilah al-Iqtishadi bil Islam, memandang uang sebagai medium of exchange.
Pakar ekonomi Islam sepakat, bahwa perdagangan spekulasi valuta telah menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian dunia dan senantiasa mengancam ekonomi banyak negara. Oleh karena itu praktik spekulasi valas harus dilarang.
Menurut ekonomi Islam, transaksi valas hanya dibenarkan apabila digunakan untuk kebutuhan sektor riel, seperti membeli barang untuk kebutuhan import, berbelanja atau membayar jada di luar negeri, sebagaimana yang dibutuhkan para jamaah haji, dan sebagainya.
Perdagangan valas dalam kegiatan spekulasi adalah sebuah transaksi maya (semu), karena padanya tidak terdapat jual beli sektor riil. Dalam perdagangan valas, yang diperjualbelikan adalah uang itu sendir, bukan barang atau jasa.
Dalam transaksi maya, tidak ada sektor riil (barang atau jasa) yang diperjualbelikan. Mereka hanya memperjualbelikan kertas berharga dan mata uang untuk tujuan spekulasi. Selisih dan tambahan (gain) yang diperoleh dan jual beli itu termasuk kepada riba. Karena gain itu diperoleh bighairi ‘iwadhin, yakni tanpa ada sektor riil yang dipertukarkan, kecuali mata uang itu sendiri.
Tegasnya, gain (harga beli lebih besar dari harga jual) yang diperoleh dalam perdagangan valas adalah riba. Pelarangan riba yang secara tegas terdapat dalam Al-Qur’an (QS. 2 : 275-279), pada hakikatnya, merupakan pelarangan terhadap transaksi maya. Firman Allah, “Allah menghalalkan jual beli (sektor riil), dan mengharamkan riba (transaksi maya).
Dampak Spekulasi Perdagangan Valas
a). Perdagangan valas menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian suatu negara, antara lain menimbulkan ketidakstabilan nilai tukar mata uang. Sehingga menggusarkan para pengusaha dan masyarakat umum, malah kegiatan jual-beli valas cenderung mendorong jatuhnya nilai uang rupiah, karena para spekulan sengaja melakukan rekayasa pasar agar nilai mata uang suatu negara berfluktuasi secara tajam.
Bila nilai rupiah anjlok, maka secara otomatis, rusaklah ekonomi Indonesia yang ditandai dengan naiknya harga barang-barang atau terjadinya inflasi secara tajam. Sedangkan inflasi adalah realitas ekonomi yang tidak diinginkan ekonomi Islam.
Akibat lain adalah goncang dan ambruknya perusahaan yang tergantung pada bahan impor yang pada gilirannya mengakibatkan kesulitan operasional dan sering menimbulkan PHK di mana-mana. Demikian pula, suku bunga perbankan menjadi tinggi, APBN harus direvisi karena disesuaikan dengan dollar. Defisit APBN pun semakin membengkak secata tajam.
Demikianlah keburukan jatuhnya nilai mata uang rupiah yang dipicu oleh permainan spekulasi valas. Berdasarkan dampak negatif itu, perdagangan valas untuk kepentingan spekulasi, amat dilarang dalam Islam.
b). Dampak lain transaksi maya dalam perekonomian ialah terjadinya ketidakseimbangan arus moneter dengan arus finansial. Realitas ketidakseimbangan arus moneter dan arus barang/jasa tersebut, mencemaskan dan mengancam ekonomi berbagai negara.
Dalam ekonomi Islam, jumlah uang yang beredar, bukanlah variabel yang dapat ditentukan begitu saja oleh pemerintah sebagai variabel eksogen. Dalam ekonomi Islam, jumlah uang yang beredar ditentukan di dalam perekonomian sebagai variabel endogen, yaitu ditentukan oleh banyaknya permintaan uang di sektor riel. Atau dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian.
Dalam ekonomi Islam, sektor finansial dan sektor riel. Inilah perbedaan konsep ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional, jelas memisahkan antara sektor finansial dan sektor riel.
Akibat pemisahan itu, ekonomi dunia rawan krisis, khususnya negara-negara berkembang (terparah Indonesia). Sebab, pelaku ekonomi tidak lagi menggunakan uang untuk kepentingan sektor riil, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang.
Spekulasi inilah yang dapat menggoncang ekonomi berbagai negara, khususnya negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi itu, jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor riil.
Bagi spekulan, tidak penting apakah nilai menguat atau melemah. Bagi mereka yang penting adalah mata uang selalu berfluktuasi. Tidak jarang mereka melakukan rekayasa untuk menciptakan fluktuasi bila ada momen yang tepat, biasanya satu peristiwa politik yang minimbulkan ketidakpastian.
Menjelang momentum tersebut, secara perlahan-lahan mereka membeli rupiah, sehingga permintaan akan rupiah meningkat. Ini akan mendorong nilai rupiah menguat. Penguatan rupiah secara semu ini, akan menjadi makanan empuk para spekulan.
Bila momentumnya muncul dan ketidakpastian mulai merebak, mereka akan melepaskan rupiah sekaligus dalam jumlah besar. Pasar akan kebanjiran rupiah dan tentunya nilai rupiah akan anjlok. Para spekulan meraup keuntungan dari selisih harga harga beli dan harga jual. Makin besar selisihnya, makin menarik bagi para spekulan untuk bermain.
c). Perdagangan mata uang (valas) secar signifikan menimbulkan kerawanan krisis bagi suatu negara. Karena itulah, maka konferensi tahunan Asociation of Muslim scientist di Chicago, Oktober 1998 yang membahas masalah krisis ekonomi Islam, menyepakati bahwa akar persoalan krisis adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor riil.
Dengan demikian, nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar. Solusinya adalah mengatur sektor finansial agar dijauhkan dari segala transaksi yang mengandung riba, termasuk transaksi maya di pasar uang.
Gejala decopling, sebagaimana digambarkan di atas, disebabkan, karena alat tukar dan penyimpanan kekayaan, tetapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang memperoleh gain (tambah selisih harga jual dan harga beli). Meskipun bisa berlaku sebaliknya, yakni orang yang bisa mengalami kerugian milyaran dolar AS.
Kesadaran Negara Maju
Sebenarnya, sebagai pakar ekonomi dunia telah menyadari kerapuhan sistem moneter kapitalisme seperti itu. Teori bubble growth dan random walk telah memberikan penjelasan yang meyakinkan bahaya transaksi maya (bisnis dan spekulasi mata uang dan bisnis (spekulasi) saham di pasar modal).
Pelarangan riba yang secara tegas terdapat dalam al-Qur’an (QS. 2 : 275 –279), pada hakikatnya, merupakan pelarangan terhadap transaksi maya. Firman Allah, “Allah menghalalkan jual beli (sektor riil) dan mengharamkan riba (transaksi maya)”.
Para pemimpin negara-negara G7 pun telah menyadari bahaya dan keburukan transaksi maya dalam perekonomian. Pada tahun 1998 mereka menyepakati bahwa perlu adanya pengaturandi pasar uang sehingga tidak menimbulkan krisis yang berkepanjangan. Jadi, bila negara-negara G7 telah menyadari bahaya transaksi maya, mengapa Indonesia masih belum melihat dampak negatifnya bagi perekonomian.
Karena itu, pemerintah hendaknya melarang transaksi maya atau transaksi derivatif baik di money changer, bank devisa dan pasar uang. Bank syariah, seperti Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri, sejak berdirinya menghindari bisnis spekulasi mata uang, karena dilarang dalam ekonomi Islam.
Kesimpulan
1. Pada dasarnya jual beli valas dibolehkan, bila jual beli itu dimaksudkan untuk kebutuhan transaksi sektor riil (barang dan jasa), misalnya untuk membayar barang-barang yang diimport kepada eksportir luar negeri atau untuk berpergian dan belanja di luar negeri.
.2. Perdagangan valas untuk kepentingan spekulasi adalah haram, karena mengandung unsur riba dan maysir, serta menimbulkan dampak negatif (mudharat) bagi perekonomian masyarkat umum (maslahat ‘ammah). Kerena itu alasan-alasan itu, umat Islam harus menghindarinya.
Spekulasi valas artinya, seseorang membeli uang asing hanya untuk memperoleh gain (selisih) harga beli dan harga jual. Seseorang spekulan membeli mata uang asing, misalnya dolar, ketika harganya turun dan melepaskannya ketika harga naik dan begitulah seterusnya.
Selisih harga beli dan harga jual menjadi keuntungan spekulan. Selisih yang diperoleh tanpa ada ‘iwadh atau transaksi sektor riil adalah riba. Sedangkan kemungkinan dan ketidakpastian nilai tukar mata uang yang berakibat bagi kerugian dan keuntungan si spekulan tergolong kepada judi.
3. Perlu ditegaskan kembali bahwa dalam perdagangan valas, gain yang diperoleh adalah riba, karena gain itu bukan hasil kegiatan bisnis sektor barang atau jasa, tetapi hasil pertukaran mata uang semata.
4. Perdagangan valas telah menjadikan uang sebagai komoditas dan kegiatan ini disebut dengan transaksi maya, karena dalam kegiatan bisnis ini terjadi perputaran arus uang dalam jumlah besar, tetapi tidak ada kegiatan sektor riilnya (bai’ barang dan jasa). Padahal menurut ekonomi Islam, fungsi uang tidak boleh sebagai komoditas.
Dalam ekonomi Islam, segala bentuk transaksi maya dilarang. Bila transaksi ini dibolehkan, maka pasar uang akan tumbuh jauh lebih cepat daripada pertumbuhan pasar barang dan jasa. Pertumbuhan yang tidak seimbang ini akan menjadi sumber krisis dan bencana seperti yang terjadi sekarang ini, sebab uang telah dijadikan sebagai komoditas yang diperdagangkan secara spekulatif.
5. Perdagangan valas telah memicu secara signifikan bagi kejatuhan rupiah. Sedangkan kejatuhan rupiah berarti kehancuran ekonomi suatu negara atau rakyat umum.